KEMULIAAN DAN AMALAN-AMALAN BULAN RAJAB
Selintas sejarah penanggalan Islam
Selintas sejarah penanggalan Islam
Sejak dahulu, ada tiga barometer yang dijadikan pijakan dan pegangan oleh manusia untuk menentukan waktu di muka bumi ini: Pertama, dengan melihat gerakan bumi dengan bumi itu sendiri. Penghitungan ini melahirkan hitungan hari.
Kedua, dengan melihat gerakan bumi terhadap matahari, yang kemudian melahirkan tahun matahari, tahun masehi (as-sanah asy-syamsiyyah).
Ketiga, dengan melihat gerakan bulan terhadap bumi, yang kemudian melahirkan hitungan tahun bulan (as-sanah al-qamariyyah).
Tahun syamsiyyah adalah tahun di mana berdasarkan penglihatan gerakan bumi yang mengelilingi matahari di mulai dari titik tertentu, sampai kembali lagi. Sementara tahun Qamariyyah merupakan masa yang didasarkan kepada bulan yang mengelilingi di sekitar bumi.
Dalam Islam, tahun yang dipergunakan adalah tahun yang berdasarkan bulan, tahun qamariyyah. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur'an:
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al-Baqarah: 189).
Jumlah bulan-bulannya sama dengan tahun syamsiyyah, yaitu dua belas bulan, sebagaimana firman Allah di bawah ini:
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” (QS. At-Taubah: 36).
Nama-nama kedua belas bulan dimaksud urutannya adalah sebagai berikut:
Al-Muharram (yang diharamkan). Disebut demikian karena bulan ini termasuk bulan yang diharamkan untuk melakukan peperangan. Nama dahulunya adalah al-Mu'tamar.
Shafar (kosong, nol). Disebut demikian, karena rumah-rumah orang Arab pada bulan ini kosong dari penghuninya karena mereka keluar untuk melakukan peperangan setelah pada bulan sebelumnya tidak diperbolehkan berperang. Nama dahulunya Najir.
- Rabi'ul Awwal (musim semi pertama). Disebut demikian, karena pada bulan tersebut memasuki musim semi pertama. Nama dahulunya Khawwan.
- Rabi'ul Akhir (musim semi kedua). Disebut demikian karena pada bulan tersebut dahulunya memasuki musim semi kedua. Nama dahulunya Shuwan.
- Jumadal Ula (membeku yang pertama). Disebut demikian, karena dinamakannya pada musim dingin, di mana air mulai membeku. Nama dahulunya Hantam atau Hanin.
- Jumadal Akhirah (membeku yang kedua). Disebut demikian, karena dinamakannya pada musim dingin, di mana air mulai membeku pada tahap kedua. Nama dahulunya Zabba'
- Rajab (mulia, agung). Disebut demikian karena pada bulan ini, orang-orang Arab dahulu memuliakan dan mengagungkan bulan ini dengan mengadakan perayaan-perayaan agama dan tidak diperbolehkan melakukan peperangan. Dan bulan ini termasuk di antara bulan haram. Nama dahulunya al-Asham.
- Sya'ban (bergerombol, berkelompok). Disebut demikian, karena pada bulan ini orang-orang Arab dahulu mulai bergerombol dan berkelompok untuk kembali melakukan peperangan dan penyerangan setelah pada bulan Rajab mereka duduk di rumah, tidak diperbolehkan berperang. Nama dahulunya 'Adil.
- Ramadhan (sangat panas). Disebut demikian karena pada bulan ini, udara sangat panas sehngga pasir di padang pasir menjadi sangat panas. Nama dahulunya Nafiq.
- Syawwal (mengangkat, meninggikan). Disebut demikian, karena pada bulan ini unta-unta mengangkat ekor-ekornya untuk dibuahi, hamil dan kemudian melahirkan. Nama dahulunya Wagil.
- Dzul Qa'dah (duduk, berhenti). Disebut demikian karena pada bulan ini mereka berhenti dari peperangan, karena termasuk bulan haram. Nama dahulunya Huwa'.
- Dzul Hijjah (berhaji). Disebut demikian karena pada bulan ini orang-orang melakukan ibadah haji. Nama dahulunya Burak.
Pada masa Rasulullah saw, nama-nama bulan ini sudah ada, sebagaimana dapat kita jumpai dalam banyak hadits Rasulullah saw menyebut nama-nama bulan dimaksud. Akan tetapi, nama tahun seperti tahun 1429 H dan lain sebagainya belum ada pada masa Rasulullah saw. Pada masa itu, nama tahun umumnya dikaitkan dengan kejadian besar yang terjadi pada tahun tersebut, misalnya ada tahun gajah ('amul fiil), karena pada tahun tersebut tentara Abrahah yang menunggangi gajah berangkat ke Mekkah untuk menghancurkan Ka'bah. Bahkan pada masa Khalifah Abu Bakar Shidiq pun belum ada penentuan tahun.
Baru pada masa Khalifah Umar bin Khatab, dimulai adanya penamaan tahun. Umar bin Khatab adalah orang yang pertama kali meletakkan penanggalan Hijriyyah. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyebutkan di antara sebab mengapa Umar melakukan penanggalan tersebut. Dikisahkan bahwa ketika Abu Musa al-Asy'ari diangkat menjadi gubernur di Irak, dan Umar berkirim surat kepadanya, Abu Musa kembali berkirim surat bahwa surat dari Khalifah Umar tidak tertulis tanggalnya. Kemudian Umar segera bermusyawarah dengan para sahabat lainnya saat itu.
Sebagian mengatakan, berikan penanggalan itu dengan berpegang pada waktu di mana Rasul diangkat menjadi Nabi. Sebagian yang lain, menyarankan agar perpijak kepada hijrah Nabi. Sebagian yang lain menyarankan dari kelahiran Rasulullah saw, dan sebagian yang lain dari wafat Rasulullah saw.
Hanya Umar lebih setuju kepada Hijrah Nabi mengingat bahwa sejak Hijrah itulah jelas adanya perbedaan antara yang hak dan yang bathil. Setelah tahunnya sepakat, para sahabat juga berselisih pendapat mengenai bulan pertamanya, sebagian menyarankan Ramadhan, akan tetapi Umar berpendapat dari bulan Muharram, karena pada bulan tersebut adalah masa di mana orang-orang pulang dari ibadah haji. Sebagian riwayat dhaif mengatakan bahwa yang pertama kali meletakkan tahun hijriyah ini adalah Ya'la bin Umayyah ketika menjabat gubernur Yaman pada masa Khalifah Umar bin Khatab.
Bulan Rajab dalam al-Qur’an
Tidak ada sesuatupun yang disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an, melainkan menunjukkan sesuatu yang sangat penting atau istimewa. Hari misalnya, dalam al-Qur’an, dari tujuh hari yang ada, yang disebutkan oleh Allah hanya hari Jum’at. Bahkan, hari Jum’at dijadikan salah satu nama surat dalam al-Qur’an. Allah berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Jumu’ah: 9).
Mengapa Jum’at dan tidak yang lainnya? Karena Jum’at mempunyai keistimewaan tersendiri, di mana misalnya Allah memuliakannya melebihi hari-hari yang lain, di mana Adam diciptakan, hari kiamat akan terjadi dan sebagainya. Karena itulah, maka Jum’at dikenal dengan Sayyidul Ayyaam atau Rajanya hari.
Dalam al-Qur’an juga, dari sekian banyak jenis dan bentuk shalat-shalat Sunnat, namun yang disebutkan secara jelas, hanyalah shalat Tahajjud, dan tidak shalat-shalat sunnat lainnya. Allah berfirman:
Artinya: “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji” (QS. Al-Isra: 79).
Mengapa hanya Tahajjud yang disebutkan? Karena shalat Tahajud lagi-lagi mempunyai keistimewaan dan kelebihan dibandingkan dengan shalat-shalat sunnat lainnya. Karena itu, tahajud merupakan shalat yang hukumnya wajib kepada Rasulullah saw di samping lima shalat wajib lainnya. Karena itu, Tahujud merupakan Sayyidun Nawafil (Rajanya shalat-shalat sunat).
Dalam al-Qur’an juga, dari dua belas bulan, hanya satu bulan yang disebutkan secara sharih dan tegas oleh Allah, yaitu bulan Ramadhan. Allah menegaskan:
Artinya: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al-Baqarah: 185).
Mengapa hanya bulan Ramadhan yang disebutkan secara tegas? Karena bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat diistimewakan, di mana pahala dilipat gandakan, dan al-Qur’an diturunkan. Karena itu, Ramadhan dikenal dengan sebutan Sayyidus Syuhur (Rajanya bulan).
Kini, apakah bulan Rajab disebutkan dalam al-Qur’an? Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa bulan yang disebutkan secara tegas dan jelas, hanya bulan Ramadhan. Namun tidak berarti bahwa bulan Rajab tidak disinggung oleh Allah dalam al-Qur’an. Bulan Rajab pun disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an, hanya tidak secara tegas, namun secara eksplisit (tidak langsung). Hal ini, ketika Allah membicarakan tentang bulan-bulan Haram, di mana bulan Rajab termasuk salah satunya. Allah misalnya berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” (QS. At-Taubah: 36).
Bahkan, bukan hanya itu, dalam al-Qur’an, sepengetahuan penulis, bulan-bulan Haram disebutkan oleh Allah paling tidak dalam lima (5) ayat. Satu ayat, sebagaimana telah disebutkan di atas (QS. At-Taubah: 36), dan keempat ayat lainnya adalah sebagai berikut:
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan haram itu adalah dosa besar” (QS. Al-Baqarah: 217).
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya” (QS. Al-Maidah: 2).
Artinya: “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka” (QS. At-Taubah: 5).
Terakhir dalam surat al-Maidah ayat 97 di bawah ini:
Artinya: “Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, dan qalaid” (QS. Al-Maidah: 97).
Lalu apa saja yang termasuk bulan-bulan Haram itu, dan apakah betul Rajab termasuk di dalamnya? Dalam al-Qur’an, Allah tidak menjelaskan bulan-bulan apa saja yang termasuk dalam bulan-bulan haram dimaksud. Rasulullah saw yang menjelaskannya, dan Rajab termasuk salah satunya. Dalam hadits shahih riwayat Bukhari Muslim, Rasulullah saw bersabda:
Artinya: “Dari Abu Bakrah, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya waktu terus berputar, sebagaimana keadaannya semula, pada hari dimana Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan berurutan, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram, dan bulan Rajab yaitu bulan mudhar (yang lebih lagi dari segi keharamannya), yang berada di antara dua bulanJumadil (ula dan akhir) dan di antara bulan Sya’ban” (HR. Bukhari Muslim).
Dari hadits di atas nampak jelas bahwa Rajab termasuk di antara empat bulan Haram. Bahkan, sebagian ulama Syafi’iyyah—sebagaimana dipaparkan Ibnu Rajab dalam Lathaiful Ma’arif nya hal 163-- menilai dari keempat bulan haram tersebut, bulan yang paling mulia dan istimewa adalah bulan Rajab, sekalipun Imam Nawawi dan lainnya menilai pendapat ini pendapat yang lemah, dan bagi Imam Nawawi, yang paling istimewa adalah bulan Muharram. Sedangkan menurut Sa’id bin Jubair dan lainnya, yang paling mulia adalah bulan Dzul Hijjah.
Mengapa disebut bulan Haram?
Pertanyaan berikutnya, mengapa keempat bulan di atas yang salah satunya Rajab, dinamakan bulan Haram? Kata haram, dalam bahasa Arab paling tidak mempunyai dua makna penting, pertama, berarti mulia, istimewa, dan kedua, berarti haram kebalikan dari halal.
Oleh karena itu, para ulama ketika menjelaskan sebab dikatakan bulan haram, berbeda pendapat berdasarkan makna lughawi (pemahaman secara bahasa) dari kata haram dimaksud.
Paling tidak, ada tiga pendapat, tentang mengapa dinamakan bulan-bulan haram.
Pendapat pertama, sebagaimana disampaikan Ibnu Abbas, bahwa sebab dinamakan bulan Haram, karena kemuliaan dan keistimewaan bulan-bulan dimaksud dimana perbuatan maksiat yang dilakukan di dalamnya, siksa dan dosanya lebih besar dari pada dilakukan pada bulan-bulan lainnya, demikian juga, kebaikan yang dilakukan di dalamnya lebih besar pahalanya dibandingkan dengan kebaikan yang dilakukan pada bulan-bulan lainnya (tentu selain Ramadhan).
Dalil bahwa perbuatan maksiat dan kebaikan akan dilipatgandakan siksa atau pahalanya adalah firman Allah di bawah ini:
Artinya: “Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” (QS. At-Taubah: 36).
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa dhamir dari kata ‘hunna’ di atas adalah untuk empat bulan haram dan bukan untuk bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu, ayat di atas dengan tegas melarang perbuatan aniaya dan dhalim yang dilakukan pada bulan-bulan haram, dan tidak semata dilarang, melainkan karena dosa dan siksanya lebih besar dari pada bulan-bulan lainnya.
Apabila dosa-dosa yang dilakukan di dalamnya dilipatgandakan, maka demikian juga dengan kebaikan-kebaikan; pahalanya akan lebih besar dan lebih berlipat dibandingkan dengan pahala kebaikan yang dilakukan pada bulan-bulan lainnya.
Imam Ka’ab pernah mengatakan: “Allah telah memilih banyak waktu, namun waktu yang paling disukai oleh Allah adalah bulan-bulan Haram”.
Pendapat kedua mengatakan, dinamakan bulan Haram, karena pada bulan-bulan tersebut diharamkan melakukan peperangan, yang mana sudah menjadi kebiasaan orang-orang jahiliyyah dahulu, bahkan sejak masa Nabi Ibrahim as.
Menurut pendapat kedua ini, peperangan merupakan tradisi orang-orang Jahiliyyah dahulu, sejak masa Nabi Ibrahim as. Mereka biasa melakukan peperangan antara satu kabilah dengan kabilah (suku) lainnya, sekalipun karena masalah kecil. Bahkan, di antara nama-nama bulan pun, dinisbahkan kepada kondisi peperangan mereka. Shafar misalnya, yang berarti nol, kosong, disebut demikian karena mereka mengosongkan rumah dan kampong halaman untuk melakukan peperangan.
Sya’ban yang berarti bergerombol, berkelompok, disebut demikian, karena mereka bersekutu untuk melakukan peperangan. Muharram yang berarti diharamkan, dinamakan demikian, karena pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan melakukan peperangan.
Dan sejak masa Jahiliyyah dahulu, mereka telah mengenal bahwa dalam empat bulan haram tersebut mereka tidak diperbolehkan melakukan peperangan. Bahkan, sekalipun kerabat atau orang tuanya sendiri yang dibunuh misalnya, mereka tidak melakukan dendam dan pembalasan pada bulan-bulan Haram dimaksud.
Dan dari keempat bulan haram tersebut, orang-orang Jahiliyyah lebih menghormati lagi apabila pada bulan Rajab. Mereka betul-betul tidak melakukan bentuk peperangan, perselisihan atau benci apapun. Karena itu, dalam hadits Bukhari Muslim di atas, Rasulullah saw menyebutnya dengan kata Rajab Mudhar, yang berarti lebih dalam hal pengagungan dan penghormatannya (kanat taziidu fi ta’zhiimih wah tiroomih).
Pendapat kedua ini juga menguatkan argumennya dengan mengatakan, bahwa Allah dalam al-Qur’an menegaskan tabiat jahat dan jelek orang-orang jahiliyyah dahulu yang disebut dengan an-nasii’.
Menurut Ibn Zaid bin Aslam sebagaimana dikutip oleh Ibnu Rajab (hal 163), an-nasii’ adalah menggantikan sebagian bulan haram dengan bulan-bulan lainnya demi meneruskan peperangan. Orang-orang Arab dahulu, apabila sedang tanggung melakukan peperangan, misalnya berperang pada bulan Jumadil akhir, dan peperangan tersebut belum selesai, mereka terus melakukan peperangan sampai bulan Rajab (padahal Rajab termasuk bulan Haram), kemudian mereka mengundurkan bulan haram tersebut kepada bulan Sya’ban, sehingga pada bulan Sya’ban mereka menjadikannya sebagai bulan haram, di mana tidak boleh berperang. Demikian seterusnya, sehingga bulan-bulan itu terus berubah-ubah. Dan bukan hanya itu, dengan peraturan yang diubah-ubah oleh mereka sendiri, maka tata tertib di jazirah Arab saat itu menjadi kacau dan lalu lintas perdagangan sangat terganggu. Karena itulah, Allah menegaskan bahwa perbuatan an-nasii’ itu adalah penambahan dalam kekufuran. Allah menegaskan:
Artinya: “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu (an-nasii’) adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS. At-Taubah: 37).
Ayat ini menjadi dalil kuat bagi pendapat kedua, bahwa sebab dinamakan bulan haram, karena tidak diperbolehkannya (haram) melakukan peperangan pada bulan-bulan dimaksud.
Pendapat ketiga, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Baari, dinamakan bulan haram, karena pada bulan-bulan ini erat kaitannya dengan pelaksanaan ibadah haji dan umrah. Karena ada pelaksanaan haji dan umrah ini, maka orang-orang Arab tidak melakukan bentuk kekerasan apapun, baik perang, merampok, menjegal di tengah jalan ataupun perang. Bahkan, mereka menilai keempat bulan tersebut merupakan bulan mulia karena pada bulan dimaksud waktu untuk melakukan ibadah suci, haji dan umrah.
Bulan Dzul Qa’dah termasuk bulan haram, karena pada bulan itu, orang-orang mulai melakukan perjalanan menuju Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Pada bulan Dzul Hijjah, termasuk bulan haram, karena bulan tersebut merupakan bulan dilaksanakannya ibadah haji. Bulan Muharram, juga termasuk bulan haram, karena pada bulan tersebut waktu pulangnya para jamaah haji, dan bulan Rajab termasuk bulan haram, karena pada bulan dimaksud waktu orang-orang melakukan ibadah umrah, di mana rajab berada di tengah-tengah bulan, dan merupakan waktu yang sangat tepat untuk melakukan umrah khususnya bagi mereka yang tinggal dekat Mekkah.
Oleh karena itulah, keempat bulan tersebut disebut bulan haram, karena erat kaitannya dengan pelaksanaan haji dan umrah, yang dahulu kala, umumnya perjalanannya memerlukan waktu yang sangat lama.
Ketiga pendapat di atas, hemat penulis, dapat digabungkan, dengan mengatakan bahwa dinamakan bulan haram, karena termasuk bulan-bulan yang sangat mulia dan istimewa, dan karena mulia dan istimewa itulah, maka tidak diperbolehkan melakukan kejahatan, kekerasan apalagi peperangan. Hal ini dikarenakan pada bulan-bulan haram tersebut erat kaitannya dengan pelaksanaan ibadah haji dan umrah, di mana haji dan umrah merupakan ibadah suci yang sangat isitimewa, dan siapapun yang menghalangi atau mengganggu atau mengotori waktu pelaksanaannya, maka hukumannya akan sangat berat di sisi Allah kelak. Wallahu ‘alam bis shawab.
Arti dan nama-nama bulan Rajab.
Menurut Imam al-Ash’amy, imam al-Mufadhal dan Imam al-Fura, rajab, berarti mulia dan agung. Dinamakan demikian, karena para malaikat senantiasa mengagungkan dan memuliakan bulan tersebut dengan lebih memperbanyak bacaan tahmid dan tasbih kepada Allah (liannal malaaikah tatarajjab littasbiih wat tahmiid fiih).
Imam as-Syatha dalam kitabnya I’aanatut Thaalibin (2/307), juga mengatakan, bahwa kata rajab diambil dari kata at-tarjiib yang berarti at-ta’zhiim, yang dimuliakan, yang diagungkan. Dinamakan demikian, karena orang-orang Arab dahulu kala memuliakan dan mengagungkannya melebihi bulan-bulan lainnya. Bahkan, orang-orang jahiliyyah dahulu, menjadikannya sebagai di antara hari raya, serta mereka ramai-ramai melakukan kurban dengan nama al’atiirah.
Sementara berkaitan dengan nama-nama bulan Rajab, sebagian ulama semisal Imam Abu Bakar bin as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi dalam kitabnya I’aanatut Thaalibin (2/307), mengatakan, Bulan Rajab mempunyai empat belas (14) nama, dan sebagian lagi mengatakan ada tujuh belas (17) nama, yaitu:
1. Syahrullah (bulan Allah). Dinamakan demikian, karena Rajab termasuk di antara bulan Haram, yang mana Allah yang memuliakan dan mengharamkan peperangan di dalamnya. Karena itu, Rajab disebut Bulan Allah (syahrullah).
2. Rajab (mulia, agung), disebut demikian, karena para malaikat pada bulan ini lebih mengagungkan Allah dengan jalan lebih memperbanyka tahmid dan tasbih.
3. Rajab Mudhar (sangat, lebih kemuliaan dan keharamannya). Dinamakan demikian, karena Rajab lebih dipandang mulia oleh orang-orang Arab dahulu dibandingkan bulan-bulan Haram lainnya.
4. Munshil Asnah (melepas anak penah). Disebut demikian, karena pada bulan ini, orang-orang Jahiliyyah tidak melakukan peperangan, mereka melepaskan seluruh atribut peperangan, termasuk anak-anak panahnya.
5. Asham (tuli). Dinamakan demikian, karena pada bulan ini orang-orang Arab dahulu tidak mendengar bunyi-bunyi senjata, peperangan.
6. Ashab (mengena, mendapatkan). Dinamakan demikian, karena pada bulan tersebut, banyak kebaikan dan untung yang dapat diraih, terutama mereka yang mengadakan perdagangan, atau bisnis lainnya, karena bulan tersebut aman, tidak terjadi peperangan. Sebagian yang lain mengatakan, disebut Ashab, karena pada bulan ini Allah tidak menyiksa satu ummat pun. Namun, pendapat ini dibantah dengan dikatakan bahwa Allah menenggelamkan kaum Nabi Nuh as, juga pada bulan Rajab, karena itu pendapat tersebut tidak tepat, sebagaimana dinukil oleh Imam al-Bujairamy dalam kitabnya Hasyiyah al-Bujairamy ‘alal Khatiib bab diyat (12/44).
Sedangkan menurut Imam Abdurrahman as-Shafury dalam bukunya Nuzhatul Majaalis (hal. 222), disebut Ashab, karena pada bulan ini, rahmat, kasih sayang Allah betul-betul dicurahkan dengan sangat deras kepada hamba-hambaNya.
7. Munfis (yang indah dan bagus). Disebut demikian, karena pada bulan ini pemandangan sangat indah dan bagus, tertib, teratur, orang-orang dengan tenang melakukan aktifitas sehari-hari dan lain sebagainya, dikarenakan tidak terjadi peperangan di dalamnya.
8. Muthahhir (mensucikan, membersihkan). Dinamakan demikian, karena orang-orang arab dahulu membersihkan diri mereka dengan melaksanakan ibadah umrah, atau membersihkan diri mereka dari peperangan pada bulan itu.
9. Ma’la (tempat tinggi).Disebut demikian, karena pada bulan ini, orang-orang saling mengangkat dan menghargai satu sama lain, serta menempatkannya di tempat mulia dan tinggi. Sehingga sekalipun ada yang berbuat salah, mereka tidak melakukan pembalasan.
10. Muqiim (berdiam diri). Dinamakan demikian, karena orang-orang Arab dahulu berdiam diri di rumah, tidak melakukan peperangan.
11. Haram (lemah, tua). Dinamakan demikian, karena pada bulan ini, orang-orang Arab seperti orang-orang yang lemah dan tua, mereka berdiam diri di ruamh, tidak melakukan peperangan.
12. Muqasyqisy (terpelihara). Disebut demikian, karena pada bulan ini orang-orang terpelihara dari peperangan, sehingga lalu lintas perdagangan lancer dan kehidupan pun menjadi sangat normal.
13. Mubri (bebas, lepas). Disebut demikian, karena pada bulan ini orang-orang arab dahulu melepaskan alat-alat perang dan terlepas dari peperangan.
14. Fard (menyendiri). Dinamakan demikian, karena bulan Rajab adalah bulan haram yang menyendiri, tidak beriringan dengan bulan-bulan haram lainnya. Sementara Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram adalah bulan-bulan haram yang beriringan satu sama lainnya.
Sementara mereka yang berpendapat ada tujuh belas nama, tiga nama lainnya adalah:
1. Rajim (merajam, melempari). Disebut demikian, karena pada bulan ini orang-orang Arab melempari setan agar setan tersebut tidak menyakiti orang-orang pilihan (para wali), dan orang-orang shaleh.
2. Munshil al-Alah (melepaskan alat-alat perang). Dinamakan demikian, karena mereka orang-orang Arab pada bulan ini melepaskan semua alat-alat perang.
3. Munzi’ al-Asnah (mencabut anak panah). Disebut demikian, karena orang-orang Arab dahulu melepaskan, dan mencabut anak-anak panah mereka, sebagai tanda tidak terjadi peperangan di dalam bulan tersebut.
Keistimewaan bulan Rajab
Ada beberapa keistimewaan dari bulan Rajab ini, di antaranya adalah:
1. Bulan Rajab termasuk bulan haram.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa bulan haram merupakan bulan yang sangat mulia dan istimewa, karenanya Allah menyebutkannya dalam al-Qur’an tidak kurang dari lima ayat. Bulan Rajab termasuk bulan haram, berdasarkan hadits di bawah ini:
Artinya: “Dari Abu Bakrah, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya waktu terus berputar, sebagaimana keadaannya semula, pada hari dimana Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan berurutan, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram, dan bulan Rajab yaitu bulan mudhar (yang lebih lagi dari segi keharamannya), yang berada di antara dua bulanJumadil (ula dan akhir) dan di antara bulan Sya’ban” (HR. Bukhari Muslim).
2. Bulan Rajab disebut dengan Bulan Allah (syahrullaah).
Syahrullah, berarti bulan Allah. Tidak semata-mata dinisbahkan namanya kepada Allah, melainkan untuk sesuatu yang istimewa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits di Mursal riwayat Imam as-Syuyuthi dalam kitabnya al-Jami as-Shagir, disampaikan ada tiga bulan berurutan yang masing-masing milik pihak-pihak tertentu; Rajab, Sya'ban dan Ramadhan. Rajab adalah bulan Allah, Sya'ban bulan Rasulullah, dan Ramadhan bulan ummat Rasulullah. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
Artinya: "Hasan al-Bashri berkata, Rasulullah saw bersabda: "Bulan Rajab adalah bulan Allah, Sya'ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan ummatku".
Hemat penulis, bulan Rajab disebut bulan Allah, karena bulan Rajab termasuk Bulan sangat mulia, karena itu kebaikan yang dilakukan di dalamnya, akan dilipat gandakan pahalanya, sebaliknya, kejahatan yang diperbuat di dalamnya, juga akan dilipatgandakan siksa dan dosanya.
Sementara mengapa Sya'ban disebut bulan Rasulullah saw, karena pada bulan ini Rasulullah saw melakukan banyak sekali puasa sunnat. Bahkan, dalam sebuah riwayat disebutkan, beliau melakukan puasa pada bulan Sya'ban ini seluruh bulan atau sebagian besarnya. Karena itulah Rasulullah saw menyebutnya sebagai 'Bulanku'.
Sementara Ramadhan disebut bulan ummatku, karena pada bulan ini ummat Rasulullah saw panen dengan pahala. Ibadah apapun yang dilakukan di dalamnya, pahalanya dilipatgandakan dari pada pada bulan-bulan lainnya. Umrah di dalamnya, pahalanya sama dengan melakukan ibadah haji, shalat sunnat yang dilakukan pada bulan Ramadhan, pahalanya sama dengan pahala mengerjakan shalat Wajib, dan pahala shalat wajib dilipatgandakan menjadi tujuh puluh kali lipat dari shalat wajib pada waktu-waktu lainnya. Karena itu, sangat pantas apabila bulan Ramadhan ini disebut dengan bulan ummatku, karena kita selaku ummat Rasulullah saw betul-betul panen pahala dan kebaikan.
3. Bulan yang paling mulia di antara bulan-bulan Haram lainnya.
Sebagaimana telah penulis singgung di atas, bahwa sebagian ulama syafi’iyyah berpendapat bahwa bulan Rajab adalah bulan yang paling mulia dibandingkan dengan bulan-bulan haram lainnya, sekalipun pendapat ini dibantah oleh Imam Nawawi, dan beliau lebih merajihkan bulan Muharram sebagai bulan yang paling istimewa dari bulan-bulan haram.
4. Termasuk satu dari lima waktu malam mustajab untuk berdoa.
Imam Syafi’i pernah mengatakan, bahwa ada lima malam yang sangat mustajab untuk berdoa, di antaranya adalah malam pertama dari bulan Rajab.
Artinya: "Telah sampai kepada kami riwayat bahwa dua itu akan (lebih besar kemungkinan untuk) dikabulkan pada lima malam: Pada malam Jum'at, malam Idul Fithri, malam Idul Adha, malam awal bulan Rajab, dan pada malam Nishfu Sya'ban. Imam Syafi'i berkata kembali: "Dan aku sangat menekankan (untuk memperbanyak doa) pada seluruh malam yang telah aku ceritakan tadi".
5. Terjadinya peristiwa maha penting Isra Mi’raj Rasulullah saw.
Sebagian ulama berpendapat bahwa, Isra Mi’raj Rasulullah saw terjadi pada bulan Rajab, tepatnya pada malam ke 27 dari bulan Rajab. Ini menunjukkan bahwa bulan Rajab merupakan bulan yang sangat istimewa, dan karenanya Allah memilihnya sebagai waktu yang tepat untuk pelaksanaan Isra Mi’raj Rasulullah saw. Dan, sebagaimana diketahui bersama, Isra Mi’raj merupakan peristiwa sangat penting dalam Islam, di mana pada peristiwa itu turun perintah wajibnya shalat lima waktu.
6. Rajab merupakan singkatan dari rahmatullah (kasih saying Allah), juudullah (kedermawanan Allah) dan birrullaah (kebaikan Allah).
Imam Abdurrahman bin Abdus Salam as-Shafury asy-Syafi’i dalam kitabnya Nuzhatul Majaalis wa Muntakhab an-Nafais (hal 222) mengatakan bahwa kata Rajab yang terdiri dari tiga huruf ra, jim dan ba, merupakan singkatan dari Rahmatullah (kasih saying Allah), Juudullaah (kedermawanan Allah) dan birrullah (kebaikan Allah).
Menurutnya, bahwa pada bulan Rajab, Allah akan mencurahkan kasih sayangNya, kedermawananNya dan kebaikan-kebaikanNya, tentu bagi mereka yang mengisinya dengan banyak kebaikan.
7. Bulan rajab adalah kunci kebaikan dan keberkahan bulan-bulan berkah lainnya.
Di antara bulan yang penuh berkah dan penuh kebaikan adalah bulan Sya’ban dan bulan Ramadhan. Kunci pertama untuk meraih keberkahan dan kebaikan pada kedua bulan di atas, adalah pada bulan Rajab. Artinya, apabila bulan pada bulan Rajab sudah diisi dengan penuh kebaikan dan ketaatan, maka kebaikan dan keberkahan pada bulan Sya’ban dan bulan Ramadhan, akan sangat mudah diraih.
Imam Abu Bakar al-Warraq al-Balakhy sebagaimana dinukil Ibnu Rajab dalam Lathaiful Ma’arif (hal 176), mengatakan:
Artinya: “Bulan Rajab adalah bulan untuk menanam (kebaikan), bulan Sya’ban adalah bulan untuk menyiram tanaman (kebaikan itu), dan bulan Ramadhan adalah bulan untuk memanen tanaman dimaksud”.
Dalam kesempatan lain, Imam al-Balakhy juga pernah mengatakan:
Artinya: “Bulan Rajab itu laksana angina, sedang bulan Sya’ban ibarat awan, dan bulan Ramadhan seperti hujan (hujan penuh kebaikan dan keberkahan)”.
8. Bulan Rajab, di antara bulan pembebasan dari api neraka.
Selain bulan Ramadhan, menurut sebagian ulama, bulan Rajab juga merupakan bulan di mana di dalamnya Allah akan membebaskan orang-orang dari siksa neraka. Karena itu, sebagaimana telah disinggung di atas, sebagian ulama mengatakan, bahwa pada bulan ini Allah tidak akan menghukum atau mengadzab hambaNya.
Karena itulah, sebagian ulama dahulu kala sangat berharap untuk meninggal pada bulan ini. Ibnu Rajab (hal 176) menuturkan sebuah kisah, ada seorang ulama shalih sakit sebelum bulan Rajab. Kemudian ulama itu bertutur: “Sesungguhnya saya berdoa kepada Allah, agar Allah mengakhirkan kematian saya pada bulan Rajab, karena terdapat riwayat mengatakan bahwa dalam bulan Rajab, Allah akan membebaskan orang-orang dari siksa kelak”. Allah pun mengabulkan doa hamba shaleh tadi, ia pun meninggal pada bulan Rajab. Allahu akbar.
Amalan-amalan pada bulan Rajab
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa bulan Rajab, termasuk di antara bulan yang sangat dimuliakan oleh Allah. Bahkan, menurut sebagian Syafi’iyyah, ia merupakan bulan paling mulia dibandingkan dengan bulan-bulan haram lainnya.
Oleh karena bulan ini bulan yang sangat mulia, maka apapun kebaikan yan dilakukan di dalamnya tentu pahalanya akan sangat berlipat dan besar dibandingkan bulan-bulan lainnya, selain Ramadhan.
Untuk itu, para ulama sejak dahulu sangat concern untuk betul-betul mengisi bulan penuh berkah ini dengan ritual ibadah yang sangat beraneka ragam, mulai dari shalat, puasa, sedekah, membaca al-Qur’an, silaturahim, membantu sesama, sampai pelaksanaan umrah. Berikut ini, di antara amalan penting yang sebaiknya dilakukan dalam rangka mengisi bulan Rajab, bulan penuh berkah dan bulan penuh kebaikan.
1. Berdoalah agar diberkahi pada bulan Sya'ban dan dapat mengikuti bulan Ramadhan
Di antara amalan yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saw pada bulan Rajab, adalah berdoa agar diberi keberkahan untuk bulan Rajab dan Sya’ban, serta agar dapat dipertemukan dengan bulan Ramadhan. Doa yang biasa dilafalkan Rasulullah saw adalah:
Allahumma baarik lanaa fi rojab wa sya'ban, wa ballignaa romadhan
Artinya: "Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab, juga di bulan Sya'ban ini serta sampaikanlah usia kami ke bulan Ramadhan".
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
Artinya: "Anas bin Malik berkata: "Adalah Rasulullah saw apabila beliau memasuki bulan Rajab, beliau suka berdoa: "Allahumma baarik lanaa fi rajab wa sya'ban, wa ballignaa ramadhan (Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab ini, juga di bulan Sya'ban ini serta sampaikanlah usia kami ke bulan Ramadhan)" (HR. Ahmad, Thabrani dan al-Bazzar).
Menurut Imam Abdul Ghani bin Ismail an-Nablusi dalam bukunya, Fadhail al-Ayyaam was-Syuhuur (hal 29) mengatakan, bahwa hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus nya, diriwayatkan melalui tiga jalan dari Anas bin Malik. Dan hadits-hadits yang ada dalam kitab Musnad al-Firdaus adalah hadits-hadits dhaif, akan tetapi dapat dilakukan dan diamalkan selama berkaitan dengan bab keutamaan amal perbuatan, Fadhailul Amal.
Imam Nawawi pun dalam pendahuluan Syarah Muslim nya menegaskan, bahwa hadits Dhaif dapat dipakai dalam bab keutamaan amal perbuatan (bab Fadhailul a'maal).
Doa di atas sebaiknya dibaca berulang kali ketika kita memasuki bulan Rajab dan Sya'ban. Semakin banyak membacanya, tentu semakin besar pahalanya. Keberkahan di bulan Rajab, keberkahan di bulan Sya'ban, dan dapat menjumpai bulan Ramadhan, merupakan tiga hal yang sangat diharapkan oleh seluruh ummat Islam. Doa di atas juga sebaiknya di baca setiap selesai shalat wajib, atau pada waktu-waktu senggang sambil berdzikir atau selesai membaca al-Qur'an.
Selain doa tersebut, ada doa lain yang biasa dibaca oleh para sahabat pada bulan Rajab dan Sya'ban, sebagaimana disampaikan oleh Yahya bin Abu Katsir, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Rajab dalam Lathaiful Ma'arif-nya (hal. 202) yaitu:
Allahumma sallimnii ilaa ramadhan, wa salllim lii ramadhan, wa sallimhu minni mutaqabbalaa.
Artinya: "Ya Allah, selamatkan dan sampaikanlah (usia) saya ke bulan Ramadhan, dan selamatkanlah Ramadhan kepada saya, serta selamatkanlah amalan-amalan saya pada bulan Ramadhan sehingga dapat diterima".
2. Bertaubat dan memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan.
Bulan Rajab merupakan kunci pertama memupuk kebaikan dan menanam ketaatan agar dapat dipanen pada bulan Ramadhan kelak. Oleh karena itulah, maka selain memupuk dan menanam kebaikan tentu memohon ampun atas segala dosa dengan jalan bertaubat atau memperbanyak istighfar, merupakan di antara hal yang harus dilakukan.
Memang idealnya, sebelum menanam kebaikan, istighfar dan taubat adalah syarat utama. Sebelum melakukan ketaatan, seorang hamba sangat dianjurkan untuk mengakui segala dosa dan kesalahan, plus memohon ampun atas segala kesalahan dan dosa dimaksud. Dan, pada bulan Rajab hal itu harus lebih banyak dan lebih sering dilakukan.
Oleh karena itu, sebagian ulama, seperti Imam Abdurrahman as-Shafury dalam bukunya Nuzhatul Majaalis (hal. 222), mengatakan bahwa bulan Rajab ini adalah bulan permohonan ampun atas segala dosa dan kesalahan (listighfaarid dzunuub), Sya’ban untuk menutup segala aib (lisatril ‘uyuub), dan bulan Ramadhan untuk menerangkan hati dan pikiran (litanwiiril quluub).
Ungkapan lain, bulan Rajab adalah bulan ampunan dari Allah (maghfirah minallaah), Sya’ban adalah bulan pertolongan dari Allah (Syafa’atullah), dan bulan Ramadhan adalah bulan dilipatgandakannya pahala kebaikan (tadh’iful hasanaat).
Selain itu, para ulama juga mengatakan: Rajab adalah bulan untuk bertaubat (syahrut taubah), Sya’ban bulan untuk menabur kasih sayang (syahrul mahabbah), dan Ramadhan adalah bulan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah (syahrul qurbah).
Oleh karena itulah, maka di antara amalan yang perlu diperbanyak pada bulan Rajab ini adalah bertaubat dan memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan (istighfar).
Imam Ali ra pernah berkata: “Perbanyaklah membaca istighfar pada bulan Rajab, karena setiap saat pada bulan Rajab, terdapat orang-orang yang akan dibebaskan oleh Allah dari siksa neraka”.
3. Melakukan shalat sunnat sebanyak dan sekhusyu’ mungkin.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa di antara keistimewaan bulan Rajab ini adalah, bulan yang dipilih oleh Allah untuk kejadian penting Isra Mi’raj Rasulullah saw. Dan inti dari adanya peristiwa ini, adalah diwajibkannya shalat lima waktu. Oleh karena itulah, maka amalan penting lainnya yang perlu dilakukan dalam rangka mengisi bulan Rajab ini adalah melakukan shalat sunnat sesering mungkin, mulai dari Dhuha, Tahajjud, Witir, Hajat, Tasbih, Rawatib dan lainnya.
Dalam sebuah hadits Dhaif sebagaimana dinukil oleh Imam Abdurrahman as-Shafury dalam bukunya Nuzhatul Majaalis (hal. 218), dari Tsauban, bahwasannya Rasulullah saw suatu saat melewati komplek pekuburan. Rasulullah saw tiba-tiba menangis sambil bersabda: “Wahai Tsauban, mereka saat ini sedang disiksa di dalam kuburannya, kemudian saya berdoa kepada Allah agar Allah meringankan siksa kepada mereka. Wahai Tsauban, seandainya mereka berpuasa satu hari saja pada bulan Rajab, juga mereka melakukan satu kali saja shalat malam (tahajud), tentu mereka tidak akan disiksa di dalam kuburnya seperti ini”.
Tsauban kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah, dengan puasa satu hari dan shalat tahajud satu kali saja di bulan Rajab, dapat mencegah siksa kubur?”.
Rasulullah saw menjawab: “Iya, demi diriku yang berada di dalam kekuasaanNya, tidak ada satu muslim atau muslimah pun yang melakukan puasa satu hari saja atau melakukan shalat malam satu kali saja di bulan Rajab, melainkan Allah akan mencatat baginya pahala seperti seseorang yang beribadah satu tahun, di mana siangnya ia berpuasa dan malamnya ia shalat tahajud terus”.
Sebagian ulama ada yang menganjurkan untuk melakukan Shalat Sunant Ragaib. Shalat sunnat Ragaib adalah shalat sunnat yang dilakukan pada malam Jum’at pertama setelah shalat Maghrib dan sebelum shalat Isya, pada bulan Rajab.
Shalat Ragaib ini pernah disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumiddin bab an-nawaafil (shalat-shalat sunnat: 1/202), dengan mengutip sebuah hadits di bawah ini:
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada seseorang pun yang berpuasa pada hari Kamis pertama di bulan Rajab, kemudian shalat sunat antara waktu Isya dan waktu gelap malam, sebanyak dua belas rakaat, yang setiap dua rakaat dipisah dengan salam. Kemudian setiap rakaat membaca surat al-Fatihah satu kali, surat al-Qadar 3 kali, al-Ikhlas 12 kali, dan ketika selesai shalatnya, membaca shalawat berikut sebanyak 70 kali: Allaoohumma shalli ‘alaa Muhammadinin Nabiyyil Ummiyyi wa ‘alaa aalihii, kemudian sujud sambil membaca tasbih berikut sebanyak 70 kali: subbuhun quddusun rabbul malaaikati war ruuh, kemudian bangkit dari sujud, sambil membaca sebanyak 70 kali doa berikut: ‘robbighfir warham wa tajaawaz ‘ammaa ta’lam, innakal a’azzul akram (ya Allah, ampuni segala dosa, sayangi dan maafkan segala kesalahan dari apa yang Eukau ketahui, karena Eukau Maha Gagah lagi Maha Mulia), kemudian sujud satu kali lagi sambil membaca bacaan sebagaimana pada sujud pertama, kemudian masih dalam posisi sujud, ia berdoa memohon segala hajat keperluaannya kepada Allah, maka Allah akan mengabulkan segala hajat dan keperluannya”.
Hanya saja, hadits ini dinilai oleh Imam al-‘Iraqy dalam bukunya Takhrij Ahaadits al-Ihyaa (2/129), sebagai hadits Maudhu’ yang tidak dapat dijadikan pegangan hokum. Oleh karena itu, mengingat hal ini menyangkut masalah hokum, maka tentu harus berdasar kepada hadits shahih, dan karenanya, shalat Ragaib tidak dibenarkan dilakukan.
Jumhur ulama sebagaimana dikutip oleh Ibnu Rajab (hal 171), shalat Ragaib termasuk salah satu bid’ah madzmumah (bid’ah tercela) yang harus dihindari. Imam Nawawi dalam al-Majmu’nya juga mengatakan sebagaimana dikutip oleh Imam Syarbini dalam Mughnil Muhtaj nya bab shalat sunnat (bab shalat an-nafl: 3/151), juga mengkatagorikannya sebagai bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela).
Untuk itu, maka shalat Ragaib ini sebaiknya tidak dilakukan, dan diganti dengan shalat sunnat-shalat sunnat lainnya yang jelas-jelas masyru, seperti tahajud, dhuha, witir, hajat dan lainnya.
4. Memperbanyak puasa sunnat.
Termasuk amalan yang sebaiknya dilakukan pada bulan Rajab adalah melakukan puasa sunnat sebanyak mungkin, baik senin kamis, Daud atau puasa bulan purnama (tanggal 13, 14, dan 15 dari bulan Rajab). Apakah selain puasa sunnat di atas, masih boleh berpuasa sunnat lainnya di bulan Rajab karena kemuliaan bulan dimaksud?
Menyangkut masalah ini, Ibnu Rajab al-Hanbali (hal. 171-173) menuturkan banyak pendapat mengenai soal ini, antara yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Hanya saja, sebagian ulama salaf, seperti Ibnu Umar, Hasan al-Bashri, dan Abu Ishak as-Subai’i, lanjutnya, biasa berpuasa pada bulan-bulan haram seluruh bulan penuh.
Bahkan, Imam ats-Tsaury pernah berkata: “Bulan-bulan haram (termasuk Rajab) adalah bulan yang paling saya sukai untuk berpuasa di dalamnya”.
Pendapat ini, berdasarkan hadits dhaif riwayat Ibnu Majah, bahwasannya Rasulullah saw pernah bersabda: “Puasalah pada bulan-bulan haram”.
Sementara Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Sa’id bin Jubair, Yahya bin Sa’id al-Anshary, juga Anas bin Malik, sebagaimana dikutip Ibnu Rajab (hal. 173), mereka menilai makruh melakukan puasa sunnat pada bulan Rajab satu bulan penuh. Oleh karena itu, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, terkadang menampakkan di depan orang-orang tidak melakukan puasa beberapa hari pada bulan Rajab ini.
Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah berkata: “Makruh melakukan puasa satu bulan penuh di bulan Rajab, akan tetapi sebaiknya berbuka (tidak puasa) satu atau dua hari”.
Imam Syafi’i dalam qaul qadim nya juga berpendapat: “Saya menilai makruh seseorang yang berpuasa satu bulan penuh pada bulan Rajab, sebagaimana puasa pada bulan Ramadhan, karena dalam sebuah hadits Bukhari Muslim, Aisyah berkata: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw melakukan puasa satu bulan penuh selain pada bulan Ramadhan saja”.
Imam Syafi’i kemudian meneruskan perkataannya: “Saya menilai makruh di atas, agar orang awam tidak menilai bahwa puasa Rajab ini sesuatu yang wajib, namun apabila ia melakukannya juga (berpuasa penuh pada bulan Rajab), maka hal itu perbuatan baik”.
Dari beragam pendapat di atas, hemat penulis, seseorang diperbolehkan melakukan puasa sunnat pada bulan Rajab sebanyak mungkin, hanya saja, ia berpuasa bukan semata karena bulan Rajabnya, akan tetapi karena bulan haram nya, di mana Rajab termasuk salah satunya.
Namun, apabila anda mengambil pendapat yang lebih baik yang keluar dari perbedaan di atas, misalnya hanya berpuasa sunnat yang jelas-jelas dianjurkan saja, seperti senin kamis, puasa Daud atau puasa bulan purnama (13, 14 dan 15) saja, maka tentu hal demikian lebih baik dan lebih selamat.
Menyangkut keutamaan puasa pada bulan Rajab, terdapat banyak hadits dhaif yang menceritakannya. Dan Ibnu Hajar al-Asqalany pernah menulis satu buku penting, berkaitan dengan hadits-hadits seputar keutamaan bulan Rajab ini, dan ia mentakhrijnya serta memisahkan mana yang termasuk hadits shahih, mana yang dhaif dan mana juga yang termasuk hadits maudhu’ dalam bukunya berjudul Tabyiinul ‘Ajab Bimaa Warada fi Fadhl Rajab.
Menurutnya, di antara hadits-hadits Dhaif yang berbicara seputar keutamaan puasa pada bulan Rajab adalah:
Artinya: “Sesungguhnya di surga kelak, terdapat sebuah sungai yang dinamakan Sungai Rajab. Airnya melebihi putihnya susu, dan melebihi manisnya madu. Siapa yang berpuasa satu hari dari bulan Rajab, maka Allah akan memberikan minum dari sungai Rajab tersebut”.
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa satu hari di bulan Rajab, maka pahalanya sama dengan berpuasa satu bulan penuh. Siapa yang berpuasa tujuh hari di bulan Rajab, maka tujuh pintu neraka akan ditutup baginya, dan barang siapa yang berpuasa delapan hari pada bulan Rajab, maka akan dibukakan baginya delapan pintu surga. Siapa yang berpuasa sepuluh hari di bulan Rajab, maka kesalahan-kesalahannya akan digantikan dengan kebaikan-kebaikan”.
Imam Abdurrahman as-Shafury, dalam bukunya Nuzhatul Majalis (hal 222) pernah menuturkan satu kisah, suatu hari Nabi Isa as melewati sebuah gunung yang bersinar dan memancarkan cahaya sangat indah. Nabi Isa kemudian memohon kepada Allah agar gunung itu dapat berbicara. Allah mengabulkannya.
Gunung itu kemudian bertanya: “Wahai Nabi Isa, apa yang kamu inginkan?”
Nabi Isa menjawab: “Coba ceritakan kepada saya mengapa tubuh kamu bersinar indah seperti itu”.
Gunung itu menjawab: “Karena di dalam perutku ada seseorang yang sedang beribadah”.
Nabi Isa kemudian berdoa kepada Allah: “Ya Allah, tolong keluarkan laki-laki itu dari perut gunung”.
Gunung pun membelah, dan keluarlah seorang laki-laki tua dengan muka bersih berseri, sambil berkata: “Wahai Isa, saya adalah kaumnya Nabi Musa, dan saya memohon kepada Allah, agar umur saya dapat menjumpai Nabi Muhammad saw, supaya saya dapat menjadi salah satu ummatnya. Dan saya berada di dalam perut gunung ini selama enam ratus tahun, dan semuanya saya pakai untuk beribadah kepada Allah”.
Nabi Isa kemudian berkata: “Ya Allah, apakah ada orang di muka bumi ini yang lebih mulia menurutMu dari pada orang shaleh ini?”
Allah menjawab: “Wahai Isa, siapapun dari ummat Muhammad yang berpuasa satu hari saja di bulan Rajab, maka dia lebih mulia di hadapanKu, dari pada orang ini”. Subhanallah wal hamdulillah.
5. Memperbanyak sedekah, termasuk berkurban bila memungkinkan.
Bulan Rajab, bagi orang-orang Jahiliyyah dahulu, betul-betul bulan yang sangat dimuliakan. Bahkan, bulan Rajab ini dijadikan sebagai hari raya mereka. Pada bulan ini juga, mereka biasa melakukan kurban hewan, baik unta, sapi atau kambing, sebagai upaya memuliakan bulan penuh berkah ini, yang mereka sebut dengan nama al-’atirah.
Para ulama berbeda pendapat, apakah ‘atirah ini masih boleh dilakukan atau sudah dihapus hukumnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ketentuan hukumnya telah dihapuskan, hal ini berdasarkan hadits Bukhari Muslim dari Abu Hurairah di mana Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada fara’ (fara’ adalah kurban dari anak unta atau kambing pertama) juga tidak ada kurban ‘atirah (‘atirah adalah kurban hewan pada bulan Rajab)”.
Sementara menurut Ibnu Sirin, Ahmad bin Hanbal dan segolongan ulama hadits, menilai ‘atirah adalah perbuatan sunnah sampai saat ini. Artinya, apabila ada yang kurban pada bulan Rajab, maka ia telah dipandang melakukan perbuatan sunant.
Hal ini berdasarkan hadits Hasan di bawah ini yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Nasai dan Ibnu Majah dari Makhnaf bin Sulaim al-Ghamidy, bahwasannya Rasulullah saw bersabda ketika di Arafah:
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya bagi setiap keluarga dalam setiap tahunnya ada kurban dan ‘atirah, dan ‘atirah adalah yang biasa disebut dengan Rajabiyyah (kurban yang dilakukan pada bulan Rajab)”. (Hr. Abu Daud dan lainnya).
Dalam hadits shahih riwayat Imam Nasa’i dari Nabisyah, bahwa para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw:
Artinya: “Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, kami pada masa Jahiliyyah biasa melakukan ‘atirah, berkurban pada bulan Rajab”. Rasulullah saw bersabda: “Berkurbanlah karena Allah, pada bulan apa saja, dan berbuat baiklah hanya karena Allah (ketika menyembelihnya), serta berikanlah (dagingnya kepada orang-orang yang memerlukan)”. (HR. Abu Daud dan lainnya).
Dalam hadits lain di bawah ini, Rasulullah saw membolehkan pelaksanaan ‘atirah ini:
Artinya: “Abu Razin berkata: “Saya bertanya kepada Rasulullah saw: “Ya Rasulullah, kami biasa berkurban pada bulan Rajab pada masa Jahiliyyah dahulu, kami memakannya, dan kami berikan kepada mereka yang datang ke rumah. Rasulullah saw bersabda: “Tidak mengapa”. (Hr. Nasai).
Dari beberapa hadits antara yang membolehkan dan yang melarang, para ulama, sebagaimana dituturkan Ibnu Rajab (hal. 170) mencoba menggabungkan keduanya. Bahwa, hadits-hadits yang menunjukkan bahwa praktek ‘atirah yang tidak diperbolehkan itu, apabila sembelihan dan kurbannya (‘atirah) nya itu bukan karena Allah. Adapun ‘atirah yang dilakukan pada bulan Rajab, dan dilaksanakan karena Allah, maka hal demikian diperbolehkan, bahkan termasuk amalan sunnah.
Oleh karena itu, di antara amalan yang dapat dilakukan pada bulan Rajab juga adalah berkurban yang diperuntukkan untuk fakir miskin, sebagai salah satu wujud bersedekah kepada mereka. Apabila tidak memungkinkan untuk berkurban, maka dapat bersedekah dengan bentuk lain, seperti memberikan makanan, uang, pakaian atau yang lainnya. Wallahu ‘alam.
Sumber : disini